Oleh: Purwanto*
Minggu ini, masyarakat Mojokerto sedang memperingati hari jadi Kabupatennya yang ke-718. Secara bergantian, peringatan tersebut diselenggarakan di dua tempat, yakni di gedung Graha Wichesa DPRD, Jum’at 6 Mei 2011, dan halaman kantor Pemda, Senin, 9 Mei 2011.
Dalam acara peringatan HUT ini, seperti biasanya, sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat akan tumplek blek, berbondong-bondong menghadiri acara tahunan yang paling bergengsi dan bersejarah ini. Supaya acara ini terlihat ‘khidmat’ dan ‘sakral’, Panitia biasanya menulis di undangan, perihal jenis dan model pakaian yang wajib dikenakan peserta yang hadir. Lazimnya, seperti tradisi tahun sebelumnya, peserta laki-laki akan memakai pakaian khas Jatim dengan songkok di kepalanya. Untuk para ibu, tentu saja, akan berdandan secantik mungkin dan terlihat ‘seolah-olah’ ramah dengan pakaian khas nasionalnya. Bapak/Ibu dari TNI dan POLRI akan nampak gagah dan perkasa dengan seragam PDU-IV-nya. Dan tidak ketinggalan pula, peserta dari utusan organisasi, akan mengenakan seragam kebesaran organisasinya.
Sudah lebih dari 7 abad, Kabupaten Mojokerto, yang tercinta ini, dilahirkan. Setiap tahun, masyarakat pun disibukkan dengan peringatan hari jadi tersebut. Setiap kali mengikuti acara seremonial tersebut, masyarakat selalu disuguhi dengan makna-makna perjuangan para leluhur. Tidak ketinggalan pula, masyarakat akan dininakbobokkan dengan janji-janji manis penguasa. Namun semua itu, sesungguhnya masyarakat sadar dan paham, bahwa janji-janji tersebut, hanya tembang pelipur lara. Manis di bibir, tapi tidak lama kemudian, janji itupun akan dicampakkan begitu saja, terjurai bagai sepah, dan terbuang laksana sampah.
Peringatan hari ulang tahun Mojokerto ini, semestinya menjadi momentum bagi siapa pun. Momentum untuk merenung sesaat, berpikir sejenak, dan berupaya mengingat bagaimana tingkah polah dan perjuangan para leluhur, yang telah menjadikan Majapahit sebagai negara adidaya sekaligus ‘primadona’ se Asia Tenggara.
Lantas, pertanyaannya, Mengapa Majapahit? Apa hubungannya dengan Mojokerto? Tentu, perlu dijelaskan, supaya masyarakat mengetahui dan memahami bahwa masyarakat Mojokerto adalah keturunan para raja Majapahit, satu ikatan keluarga, keturunan perwira, bukan keturunan jemblung-jemblung, yang sama sekali tidak mempedulikan nasib masyarakat kecil, dan hanya mempedulikan kepentingan diri dan keluarganya semata.
Terlepas dari perdebatan yang ada, sebagian besar ahli, seperti J.L.A. Brandes (1902), Raffles (1817), Verbeek (1899), Veth (1896), Pont (1921), dan Krom (1923), mereka mengungkapkan bahwa Trowulan adalah bekas ibukota Majapahit dari masa pemerintahan Hayam Wuruk. Menurut mereka, “Situs peninggalan di Trowulan, adalah identik atau sama dengan apa yang telah dipaparkan Prapanca dalam Kakawin Nagarakertagama.” Lebih meyakinkan lagi, dan pastinya bisa menghapus kegamangan masyarakat, bahwasanya Trowulan merupakan ibukota Majapahit adalah dari sumber berita Cina, jaman Dinasti Ming (1268-1343). Dalam kitab Ying-Yai Sheng-Lan, disebutkan mengenai keadaan dan lokasi ibukota Majapahit. Dan itu persis sekali, dengan penjelasan empu Prapanca.
Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya di daerah hutan Trik, tepi Kali Brantas, yang banyak ahli arkeologi, menghubungkannya dengan Desa Tarik, Sidoarjo. Namun, para ahli sepakat, bahwa pada masa keemasannya ibukota Majapahit tidak lagi di tepi kali brantas, namun bergeser atau berpindah ke arah barat daya, tepatnya di daerah Trowulan, Mojokerto. Mengenai keterangan ini juga dapat dibaca dalam berita Cina, Ma Huan dan Kung Chen.
Selanjutnya, mengapa masyarakat Mojokerto perlu bercermin pada Majapahit? Tentu, alasan utamanya adalah karena sejarah kebesaran Majapahit tidak diragukan lagi kebenarannya, dan layak untuk ditiru. Di samping itu, sebagai masyarakat Mojokerto semestinya bangga atas nilai-nilai keluhuran dan keagungan yang telah ditorehkan oleh para leluhur mereka.
Mengenai bukti kebesaran Majapahit dapat dilihat pada catatan-catatan Kakawin Nagarakretagama, yang telah digubah Prapanca pada tahun 1365. Menurut Prapanca, puncak kebesaran Majapahit terjadi pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk, Sri Rajasanagara, pada pertengahan abad XIV. Menurutnya, ada 21 negara bagian, atau sebut saja propinsi pada masa sekarang, yang berhimpun membentuk Majapahit. Dalam kitab tersebut, juga disebutkan mengenai klaim, bahwasanya Majapahit adalah kerajaan agraris yang besar dan kuat dengan sistem perwilayahan administratif yang baik. Majapahit adalah negara besar dengan kompleks keraton (pura) yang dikelilingi tembok tebal dan tinggi menjulang. Disekelilingnya terdapat bangunan kenegaraan, gedung pertemuan dan upacara, dan rumah elit bagi keluarga raja dan pejabat. Ditambah pula, terdapat bangunan rumah tempat ibadah untuk upacara keagamaan dengan fasilitas tempat kediaman bagi para pendeta dan bujangga, tempat penjagaan, alun-alun, pintu gerbang yang megah, pasar dan jalan raya menuju kota Majapahit.
Kebesaran Majapahit adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri lagi oleh siapapun. Peninggalan Majapahit seperti Candi Tikus, Gapura Bajangratu, Candi Brahu, Gapura Wringin Lawang, Candi Gentong, Candi Kedaton, kolam segaran, pendopo agung, dan yang lainnya, adalah merupakan bukti nyata atas fakta kemegahan dan kebesaran Majapahit. Sebuah cinderamata peninggalan leluhur bagi keturunannya, masyarakat Mojokerto.
Lantas, setelah masyarakat mengetahui gambaran kebesaran Majapahit, lebih-lebih meyakini bahwa negara adidaya ini, terletak di wilayah Kabupaten Mojokerto, jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat dan kemajuan daerah, maka apa yang sedang terlintas di benak masyarakat?
Tentu, sebagai manusia yang punya nurani, masyarakat Mojokerto seharusnya merasa malu, bila menyebut dirinya keturunan Majapahit, sementara daerahnya tidak memiliki apa pun yang bisa dibanggakan. Sudah sepatutnya mereka sungkan, mengaku sebagai keturunan penduduk Majapahit, yang penduduknya berani mati membela tanah airnya, sementara itu, masyarakat Mojokerto acapkali berpikir dan bertindak acuh tak acuh, mudah dibeli, dan sama sekali tidak berani menyuarakan hati nurani.
Sebagai pewaris Majapahit, pemangku kekuasaan semestinya berkaca diri. Mereka seyogyanya malu dengan keperkasaan para pemimpin besar Majapahit, yang berhasil menjadikan negaranya, menjadi negara adidaya dan primadona se-Asia Tenggara. Sementara pejabat hari ini, apa yang sudah diperbuat untuk rakyat dan kabupatennya.
Sebagai pemimpin yang diamanati rakyat, pejabat hari ini, seolah-olah, tidak pernah memikirkan bagaimana nasib masyarakat Mojokerto. Bagaimana kualitas SDM-nya? Bagaimana peningkatan akses dan mutu pelayanan dasarnya? Bagaimana cara mengembangkan dan melestarikaan nilai-nilai budaya luhur? Pemangku kekuasaan seringkali tidak tahu saat ditanya mengenai keunggulan ekonomi lokal masyarakat? Mereka kurang tahu cara memfasilitasi pemberdayakan masyarakat, lebih-lebih mengembangkan jejaring diantaranya? Pejabat tahu betul mengenai realitas kebobrokan tata kelola pemerintahannya. Dan mereka menyadari pula, pelayanan publik di masyarakat masih belum optimal, karena kendala profesionalitas pegawai.
Untuk itu, peringatan hari ulang tahun Kabupaten Mojokerto kali ini, diharapkan berbeda dengan acara-acara rutinitas tahun-tahun sebelumnya. Kalau dulu, acara peringatan ini, mungkin tidak lebih dari formalitas belaka. Namun kali ini, peringatan hari jadi Kab. Mojokerto diharapkan menjadi momentum bagi semua pihak, baik eksekutif, legislatif, stakeholders maupun masyarakat, untuk perlu mencontoh nilai-nilai luhur dan perjuangan para pemimpin Majapahit.
Memang rasanya agak sulit, karena masyarakat tahu bahwa kebesaran Majapahit tidak diperoleh hanya cukup dengan mantra bin salabin, abrah katabrah, njemunug dadi, begitu saja. Tetapi, kebesaran itu diperoleh dengan tetesan darah, cucuran air mata, semangat berjuang, dan berani untuk berkorban. Dan para pemimpin Majapahit bisa membuktikannya. Mereka adalah para leluhur yang pantas dan patut untuk diteladani oleh semua pemimpin, lebih-lebih bagi para pemangku jabatan di Kabupaten Mojokerto.
Masyarakat Mojokerto tentu menginginkan Kabupaten Mojokerto bisa mewarisi “ke-primadona-an” Majapahit. Bukan malah sebaliknya, menjadi Kabupaten dalam “tanda tanya” atau lebih memprihatinkan lagi, merana karena tidak berdaya. Lha, “Wong Bapakne iso, mosok anake ora sanggup? Nek iso mosok gak’o, nek gak iso yo iso’o”. Wallahu A’lam.
*Penulis adalah Dosen IAIN Sunan Ampel & UNDAR Jombang, yang sekarang aktif di LSM Lensa Mojokerto dan PC GP Ansor Kab. Mojokerto. Alamat penulis: Kedungpring I/02 Jampirogo Sooko Mojokerto, Telp. (0321) 7431088 HP. 08113433390.